Desa Penari Banyuwangi – Pada penasaran gak dimana sebenernya letak Desa Penari dalam cerita KKN desa Penari? Kronologi kematian Bima dan Ayu dalam cerita asli KKN di Kampung Menari 2009. Pada dasarnya kronologi sebenarnya penyebab kematian Bima dan Ayu telah dijelaskan dalam cerita asli KKN di Desa Penari 2009 oleh SimpleMan.
Dalam hal ini, kronologi sebenarnya penyebab kematian Bima dan Ayu, kisah asli KKN di Kampung Menari, juga menjadi viral di utas Twitter yang ditulis oleh SimpleMan pada tahun 2019. Dengan begitu, kronologi sebenarnya penyebab kematian Bima dan Ayu masih bisa ditemukan di cerita asli Desa Penari KKN di akun Twitter SimpleMan.
Bagi Anda yang penasaran, inilah akhir dari utas Twitter SimpleMan yang berjudul Program Pengabdian Masyarakat di Desa Penari. Widya melihat Taro Tipak sebagai koridor yang panjang. Hanya dindingnya yang berupa pohon-pohon besar dengan akar di sana-sini. Selain medan yang menanjak, di depan Tipak Talas terdapat gapura kecil lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.
Pak Prabu pernah bercerita bahwa kain hitam adalah nama tradisional untuk penanda seperti di pemakaman. Namun, bukankah warna cerah lebih baik untuk stabilo? Sebelum Widya mengetahui kebenaran dari warga yang bercerita, pria kulit hitam itu adalah simbol alam lain.
Hitam bukan untuk yang hidup, tapi sebagai tanda bagi yang sudah meninggal.
Dikatakan bahwa dari semua tempat yang ditandai dengan kain di kota ini, hanya pintu ini yang memiliki kain merah, apalagi jika itu bukan simbol bencana.
Widya mulai mendaki, kakinya terus mencari pijakan di antara akar dan batu, sementara tangannya mencari sesuatu untuk menopang berat badannya.
Malam itu sangat dingin, sangat dingin. Hanya kabut di tengah kegelapan yang bisa dilihat Widya. Dia mengambil banyak kerja keras untuk sampai ke sana. Saat Widya sampai di puncak Tapak Tilas, Widya hanya melihat satu jalan, sepertinya tidak terlalu curam, tapi ternyata dia juga butuh perjuangan ekstra. Di sana, Widya merasakannya, firasat buruk tempat ini semakin terasa, membuat Widya merinding.
Jalan setapaknya tidak terlalu besar, di kedua sisinya ditumbuhi rerumputan dan tumbuhan yang tingginya hampir setinggi bahu Widya, di antara tumbuhan dan rerumputan tersebut, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pepohonan yang menjulang tinggi dengan vegetasi di sekelilingnya. kamu tidak tersentuh
Sangat mudah untuk mengikuti Bima, karena Anda hanya perlu mengikuti jalannya. Namun, setiap kali Widya berjalan, dia selalu berada di balik semak atau rerumputan, seolah-olah ada yang bergerak. Terkadang saat Widya mencoba m Tanahnya keras dan basah. Namun, Widya terus melakukan penetrasi. Semakin dingin dan semakin dingin dan Widya telah berhenti beberapa kali untuk mengambil napas dalam-dalam.
Jalan ini sepertinya tidak ada habisnya, namun ketika kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dilakukan Bima di sini.
Hanya ada satu hal yang Widya sesali, dia hanya memakai sandal jepit. Nyatanya, apa yang dilakukan Widya malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan penyesalan, hanya bertambah ketika Widya mulai mendengarkan gending.
Ya, suara yang familiar. Lagu yang dimainkan adalah lagu yang didengar Widya saat berada di kamar mandi bersama Nur. Sementara itu, akord gamelan yang dimainkan sama saat Widya melirik ke arah penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.
Bukannya lari, Widya semakin parah. Semakin jauh, semakin jernih suaranya, dan semakin jernih suaranya, semakin ramai disana, Widya tidak sendiri.
Namun, yang ditemukan Widya adalah ujung talas Tipak, yakni tanaman yang ditanam tepat di pinggir jalan.
Tanaman itu, itu adalah tanaman beluntas. Tanamannya kecil-kecil tapi rimbun di kiri dan kanannya. Tidak bisa dilewati kecuali membawa parang, dan tentu saja butuh waktu lama untuk membersihkan semak-semak.
Namun, bau tanaman beluntas pasti tidak sedap. Namun, yang satu ini berbau melati.
Seolah tidak tahu, Widya sudah mengunyah daun itu dan terus mengunyah. Widya baru menyadari ketika sebatang beluntas tajam menggorok lehernya. Dan di belakang tanaman, Widya melihat jalan setapak turun, itu benar, dia hanya bisa melihat ujung jalan berhenti di sini.
Sehingga jalan turun terhalang oleh banyak tanaman belunta, saat Widya turun ia harus mengeluarkan darah untuk mencapai tanaman belunta yang terbungkus tali putri.
Di bawahnya, dia melihat ruang belajar yang Ayu ceritakan padanya sebelumnya, dan itu benar-benar berantakan.
Ada 4 tiang kayu jati yang dipangkas segi 4 memanjang ke atas dengan atap berbentuk kerucut. Dari kejauhan tampak seperti gedung balai kota, namun lebih besar dengan lantai panggung.
Di sana, suara gamelan terdengar jelas, seolah-olah sumber gamelan ada di gedung ini.
Saat Widya mendekatinya, meski sempat was-was, ia merasa kehadirannya tidak sendirian. Penuh orang, seolah-olah tempat ini penuh. Namun, tidak ada seorang pun di sana, hanya dirinya sendiri, yang mendekat.
Saat Widya melangkah ke anak tangga pertama, suara gamelan berhenti, sangat sunyi.elihatnya, suara itu menghilang begitu saja.
Keheningan itu sungguh membuat Widya resah, kehadirannya seolah tak diterima di sini.
Namun Widya memaksakan diri untuk terus mencari. Dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara seseorang yang dikenalnya, Ayu.
Widya baru ingat hal teraneh selama KKN di sini, Ayu.
Ayu tidak pernah bercerita apapun tentang kota ini, sesuatu yang aneh mengganggunya. Di sisi lain, Ayu menentang segala sesuatu yang tidak masuk akal di kota ini.
Namun pada malam hari, saat mereka berdebat soal suara gamelan, Ayu pasti berbohong. Ayu sebenarnya juga mengetahuinya dan mendengarnya secara langsung, Ayu sendiri tahu lebih banyak tentang semua ini, lebih dari yang lain, termasuk apa yang dilakukan Bima selama ini.
Seperti menangkap angin, ada suara tangisannya. Tapi tidak ada jalan kemanapun Widya mencari. Namun, tempat yang sepi dan sepi seperti itu, tetap saja terasa sesak bagi Widya, seolah-olah sedang dilihat dari berbagai sudut.
Widya melihat dari kejauhan bahwa di bawah ruang belajar ada gubuk berpintu.
Widya menghampirinya, namun enggan membukanya, ia berjalan mengitari gubuk, dari dalam gubuk terdengar suara Bima disusul dengan suara desahan wanita. Sangat jelas, tapi Widya tidak bisa melihat apa yang ada disana.
Leher Widya semakin berat, dan semakin berat saat Widya masih berjuang mencari cara untuk melihat. Untungnya, Widya menemukan beberapa celah kecil untuk ditembus. Dari situ Widya menyaksikan langsung Bima mandi di sinden (kolam) di sekelilingnya. Dia dikelilingi oleh banyak ular besar.
Melihat hal tersebut, Widya kaget, dan yang paling parah, Bima melihat langsung ke tempat Widya mengintip, semua ular sama, seperti yang Widya rasakan. Mereka tahu ada tamu tak diundang.
Melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari. Sambil berlari, dia berbalik untuk mendengar suara gong, diikuti oleh suara genderang. Suara gamelan terdengar nyaring, lengkap dengan gema tawa, dan Widya melihat ruang belajar yang kosong, dipenuhi dengan segala sesuatu yang belum pernah Widya lihat saat pertama kali tiba di tempat ini.
Dari ujung ke ujung, ramai, Widya melihat banyak, ada yang menyilaukan, dari yang setengah berwajah hingga yang tak berwajah.
Dari yang rendah, hingga yang tinggi setinggi pohon beringin. Mereka memenuhi studio dan sekitarnya.
Widya mulai menangis. Suara yang hampir memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti.
Widya melihat di hadapannya ada yang menari, tarian itu hampir membuat semua orang yang hadir melihatnya.
Di sana, Widya menyadari bahwa Ayu yang menari.
Mata Ayu sembab, seperti sudah lama menangis, tapi ekspresi wajahnya seperti menyuruh Widya lari, lari, tidak tahu apa yang terjadi. Widya langsung berlari melewati kerumunan yang menyaksikan Ayu menari di studio.
Widya naik ke tempat itu sambil menangis sejadi-jadinya. Sesampai di jalan, Widya mendengar anjing menggonggong, tidak lama, anjing hitam keluar dari semak-semak, setelah melihat Widya, anjing itu berlari, Widya mengikuti anjing itu.
Widya turun dari jalan, subuh, terlihat dari langit biru. Namun ternyata Widya salah.
Seorang penduduk desa terkejut melihat Widya. Dia segera lari berteriak pada penduduk desa.
Bingung, hampir semua warga berhamburan memeluk Widya.
Seorang ibu memeluk Widya, di matanya seperti menahan air mata, Widya hanya tergagap, diam, tidak mengerti. Sang ibu mengajak Widya, Widya masih terdiam, seperti orang terpana.
Di sepanjang jalan, banyak warga desa yang mengikuti Widya. Widya mendengarkan mereka yang berbicara di belakangnya.
Suatu hari satu malam, Widya seolah menghilang.
Ketika Widya melihat penginapannya, Widya melihat banyak orang berkumpul disana, dan ketika mata mereka melihat Widya, mereka semua hampir tercengang. Rasanya seperti melihat hantu lalu, dilihat dari dalam, Pak Prabu keluar, wajahnya mengeras saat melihat Widya.
Widya tidak menanggapi apa yang diminta Pak Prabu, ibu juga menenangkan Pak Prabu untuk menenangkan diri, sambil mengantar Widya ke rumah, Widya mendengar Nur berteriak, menangis, seperti setan.
Saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu penuh dengan orang-orang yang duduk bersila. Mengelilingi 2 orang yang terlentang, tubuh mereka tertutup selendang, diikat dengan tali putih seperti kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.
Widya mendekati Ayu, di sebelahnya ada Bima, dia masih menendang dalam posisi terikat itu, seperti orang yang menderita epilepsi. Mata mereka kosong menatap langit-langit, mereka berdua terbaring tak berdaya, tiba-tiba Widya berteriak sebelum ada yang bisa tenang.
Pak Prabu mengatakan kepada mereka bahwa kronologi kejadian ini tidak dapat ditampung. KKN yang menjadi tanggung jawabnya harus menjangkau semua pihak yang terlibat, meski awalnya Nur berusaha berdoa agar masalah ini tidak keluar duluan.
Namun, menghilangnya Widya membuat Pak Prabu akhirnya menyerah dan memutuskan untuk melaporkannya.
Pagi itu rombongan mobil datang, mereka anggota keluarga dan panitia KKN yang sudah mendengar semua cerita Pak Prabu.
Ayu masih berbaring, matanya melotot, tapi tubuhnya masih seperti orang lumpuh. Bima, masih kejang-kejang.
Widya, Nur harus memohon agar Ayu dan Bima tetap di sini, dan konon Mbah Buyut bisa sewaktu-waktu mengambil kayu gelondongan. Namun dari pihak keluarga Ayu dan Bima sudah tidak mau lagi, mereka tetap membawa Ayu dan Bima, bagaimana hasilnya?
”]Ayu hanya bisa tidur dengan mata terbuka terus menerus, ibunya mengatakan kepada Widya bahwa terkadang dia melihat air mata di mata Ayu.
Tapi, setiap ditanya, dia diam, tidak menjawab, Ayu akhirnya meninggal setelah 3 bulan dirawat.
Kakaknya, merasa bersalah bahwa dia hampir ingin menjadi gila di desa. Namun, Pak Prabu sama, seharusnya dari awal, ketika Ayu meminta izin KKN di sana, dia dengan tegas menolak.
Pasalnya, ini bukan tempat tinggal yang baik bagi mereka yang masih berbau kencur.
Sedangkan kondisi Bima juga meninggal. Malam sebelum meninggal, Bima berteriak minta tolong, tapi saat ditanya kenapa dan apa yang dia minta?
Bima teriak ular, ular, ular, dia mati sebelum Ayu, jenazahnya dikuburkan, orang tuanya awalnya ingin memperpanjang masalah ini ke kampus, tetapi akhirnya dicabut, dengan catatan, KKN tidak lagi diadakan di Jawa Timur.
Sejak itu, kampus ini hanya mengizinkan KKN ke barat, tidak lagi ke timur, apalagi ke kota-kota yang jauh.
Peserta KKN sebenarnya bukan 6 orang, melainkan 14 orang.
Begitulah kronologis sebenarnya penyebab kematian Bima dan Ayu dalam cerita asli Desa Penari KKN tahun 2009 yang terekam dalam utas Twitter SimpleMan.